Tuesday, 17 March 2015

Mengapa Manusia Harus Saling Meninggalkan ?



SEWAKTU BERUSIA 17 tahun, saya bermimpi. Dalam mimpi itu, saya duduk didalam masjid dan seorang gadis menghampiriku dan bertanya, “Mengapa orang-orang harus saling meninggalkan?” pertanyaan yang bersifat pribadi namun sangat jelas mengapa pertanyaan itu ditujukan kepada saya.
Saya orang yang mudah terikat.
Sejak saya masih kecil, perangai ini sangat jelas sementara anak-anak lain dikelompok bermain dapat dengan mudah pulih setelah ditinggalkan orang tua mereka, saya sebaliknya. Begitu tumpah air mata saya tidak dapat dihentikan. Saat tumbuh dewasa, saya belajar untuk memiliki keterikatan kepada segala seuatu disekitar saya. Sejak duduk di bangku kelas satu sekolah dasar, saya membutuhkan sahabat.ketika bertambah dewasa, pertengkaran apapun dengan seorang teman akan membuat saya hancur.
Saya tidak bisa merelakan apapun. Orang, tempat, peristiwa, foto, momen bahkan hasil akhir bias menjadi objek keterikatan yang sangat kuat. Jika keadaan tidak berjalan sesuai dengan yang saya inginkan atau bayangkan, saya akan sangat terpukul bagi saya kekecewaan bukanlah emosi yang lazim. Itu bencana. Begitu merasa kecewa saya takkan pernah sepenuhnya pulih. Saya tak pernah bias melupakan, dan kerusakannya tak pernah diperbaiki. Seperti jambangan kaca yang kita tempatkan dipinggir meja. Begitu jatuh dan pecah, kepingan-kepingannya takkan pernah bias untuk kembali.
Namun , masalahnya bukan terletak dijambangan kaca tersebut , atau jika bahkan jambangan tersebut jatuh. Masalahnya terletak di diri saya yang menempatkannya terlalu pinggir di meja. Melalui keterikatan ini, saya bergantung pada hubungan tersebut agar kebutuhan saya terpenuhi saya biarkan hubungan-hubungan ini menentukan kebahagiaan atau kesedihan, kepuasaan atau kehampaan, rasa aman dan bahkan nilai diri saya. Begitulah seperti jambangan yang diletakkan terlalu pinggir, sehingga bias dipastikan bahwa benda itu akan jatuh, saya menempatkan diri untuk mengalami kekecewaan. Saya menempatkan diri untuk hancur. Dan itulah persisnya yang saya temukan : satu kekecewaan dan kehancuran demi satu kekecewaan dan kehancuran lain.
Namun, orang-orang yang telah membuat saya kecewa tidak dapat dipersalahkan, sama seperti gravitasi yang tak bisa dipersalahkan karena menjatuhkan dan memecahkan jambangan. Kita tak bias menyalahkan hokum fisika ketika sebatang ranting patah karena kita bersandar padanya. Ranting tidak diciptakan untuk menahan beban kita. Hanya Allah yang bias menahan beban kita. Seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya : “Barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah[2]:256).
Ada pelajaran penting dalam ayat ini: bahwa hanya ada satu buhul tali yang amat kuat dan tak akan putus. Hanya ada satu tempat kita bergantung. Hanya ada satu hubungan yang menentukan nilai diri kita dan hanya ada satu sumber bagi kita untuk mencapai kebahagiaan, kepuasaan dan keselamatan tertinggi. Satu tempat itu adalah Allah.
Namun seringnya kita mencari semua hal ini di dunia. Beberapa mencarinya dalam karir, beberapa dalam kekayaan dan yang lainnya dalam status. Beberapa orang, seperti saya mencarinya dalam hubungan antar manusia. Dalam bukunya  Eat, Pray, Love, Elizabeth Gilbert menggambarkan pencarian atas kebahagiaan versinya sendiri. Dia menjelaskan upayanya menjalin percintaan dan mengakhirinya, dan bahkan berkeliling dunia untuk menemukan pemenuhan ini. Ia mencari pemenuhan ini tanpa hasil dalam hubungan percintaanya, dalam meditasi, bahkan dalam makanan.
Begitulah tempat saya melewatkan sebagian besar hidup saya : mencari cara untuk memenuhi kekosongan batin saya,. Jadi tidaklah mengherankan bila gadis kecil didalam mimpi saya mengajukan pertanyaan ini kepada saya. Itu adalah pertanyaan tentang kehilangan, tentang kekecewaan. Itu adalah pertanyaan tentang penyesalan. Pertanyaan tentang mencari sesuatu dan pulang dengan tangan hampa. Itulah yang akan terjadi ketika kita menggali beton dengan tangan kosong: kita tak hanya tidak mendapatkan apapun, jemari kita pun terluka. Saya mempelajari ini bukan dengan cara membacanya, bukan dengan mendengarkannya dari petuah bijak, saya mempelajarinya dengan mencobanya lagi, dan lagi, dan lagi.
Jadi, pertanyaan gadis itu pada dasarnya merupakan pertanyaan saya sendiri yang diajukan kepada diri saya sendiri.
Pada akhirnya, pertanyaan itu adalah sifat dunia sebagai tempat berlangsungnya momen singkat dan dan keterikatan sementara. Sebagai tempat orang-orang yang bersama kita pada hari ini dan pergi atau meninggal dunia esok hari. Tapi kenyataan ini menyakitkan keberadaan kita karena bertentangan dengan sifat kita sendiri. Kita, sebagai manusia, diciptakan untuk mencari, mencintai dan memperjuangkan apa yang sempurna dan apa yang permanen. Kita diciptakan untuk mencari apa yang kekal. Kita mencarinya karena kita tidak diciptakan untuk kehidupan ini. Rumah pertama dan sejati kita adalah surga: negeri yang sempurna sekaligus kekal. Sehingga mendambakan kehidupan semacam itu merupakan bagian dari keberadaan kita. Masalahnya adalah kita berusaha mencarinya di sini. Oleh karena itulah kita menciptakan krim anti-penuaan dan bedah plastik dalam upaya putus asa untuk bertahan dalam upaya membentuk dunia ini menjadi apa yang bukan sifat sejatinya, dan takkan pernah menjadi sifat sejatinya.
Begitulah jika kita hidup di dunia dengan hati kita. Menghancurkan kita. Itulah kenapa dunia itu menyakitkan. Karena defini dunia sebagai sesuatu yang sementara dan tidak sempurna, bertentangan dengan segala sesuatu yang kita dambakan. Allah menempatkan hasrat didalam diri kita yang hanya bisa terpenuhi dengan apa yang kekal dan sempurna. Dengan berusaha menemukan pemenuhan didalam apa yang fana, kita hanya berlari mengejar hologram, fatamorgana. Kita menggali beton dengan tangan kosong. Berusaha mengubah sesuatu yang pada dasarnya bersifat sementara menjadi sesuatu yang kekal sama seperti berupaya menyarikan air dari api. Kita hanya akan terbakar. Hanya ketika kita berhenti menaruh harapan pada dunia, hanya ketika kita berhenti berusaha mengubah dunia menjadi sesuatu yang bukan sifatnya dan takkan pernah menjadi sifatnya(jannah) barulah kehidupan ini akhirnya berhenti mematahkan hati kita.
Kita juga harus menyadari bahwa tak ada yang terjadi pada tujuan. Tak satu pun. Bahkan hati yang hancur. Bahkan penderitaan. Patah hati fan penderitaan merupakan pelajaran serta pertanda bagi kita. Keduanya adalah peringatan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Keduanya adalah peringatan bahwa kita harus melakukan perubahan. Sama seperti rasa terbakar memperingatkan agar kita menjauhkan tangan dari api, rasa sakit emosional memperingatkan agar kita harus melakukan perubahan internal. Kita perlu melepaskan. Penderitaan merupakan bentuk pelepasan secara paksa. Seperti kekasih yang menyakiti kita berulang-ulang, semakin besar dunia menyakiti kita, semakin pasti kita terlepas darinya. Semakin pasti kita berhenti mencintainya.
Penderitaan merupakan penunjuk ke arah keadaan terikat kita. Keterikatan semu kita berada pada sesuatu yang membuat kita menangis, yang menimbulkan rasa sakit paling besar. Pada hal-hal seperti itulah kita mengikatkan diri, padahal seharusnya kita hanya mengikatkan diri pada Allah. Itu jugalah yang menjadi hambatan di jalan kita menuju Allah. Tapi rasa sakit itu sendiri yang membuat keterikatan semu tadi tampak nyata. Rasa sakit menciptakan kondisi yang coba kita ubah di dalam hidup kita, dan jika ada apapun mengenai kondisi yang tidak kita sukai, ada rumus ilahiah untuk mengubahnya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Rad[13]: 2).
Setelah bertahun-tahun jatuh ke dalam pola kekecewaan dan patah hati yang sama, saya akhirnya menyadari sesuatu yang mendalam. Tadinya saya selalu menyangka bahwa cinta terhadap dunia berarti terikat pada hal-hal yang bersifat material. Dan saya tidak mengikatkan diri saya pada materi. Saya terikat pada emosi. Maka tadinya saya menyangka bahwa cinta terhadap dunia tidak berlaku pada diri saya. Saya tidak menyadari bahwa manusia, momen, emosi merupakan bagian dari dunia. Saya tidak menyadari bahwa penderitaan yang saya alami dalam hidup ini disebabkan oleh satu hal dan  hanya oleh satu hal : cinta terhadap dunia.
Segera setelah saya mengalami momen kesadaran itu, sehelai tabir terangkat dari pandangan saya. Saya mulai melihat letak permasalahannya. Saya mengharapkan kehidupan ini menjadi sempurna, kondisi yang tidak akan pernah terjadi sampai kapan pun. Sebagai seorang yang idealis, saya berjuang dengan setiap sel ditubuh saya untuk melakukannya. Hidup saya haruslah sempurna. Saya takkan berhenti sampai hidup saya sempurna. Saya memberikan darah, keringat , dan air mata dalam ikhtiar ini: mengubah dunia menjadi jannah. Ini berarti mengharapkan orang-orang di sekitar saya menjadi sempurna. Mengharapkan hubungan saya menjadi sempurna. Mengharapkan terlalu banyak orang-orang disekitar saya dan dari hidup saya. Pengharapan. Pengharapan.pengharapan. jika memang ada satu resep untuk ketidakbahagiaan, itu adalah pengharapan.tapi, disnilah letak kesalahan fatal saya. Kesalahan saya bukan pada memiliki pengharapan; sebagai manusia, kita tidak boleh berputus asa. Masalahnya adalah “di mana” saya meletakkan harapan dan asa itu. Di penghujung hari, harapan dan asa tidak saya tempatkan pada Allah. Harapan dan asa saya tempatkan pada manusia, hubunga, kondisi. Pada akhirnya, harapan saya lebi bersifat duniawi daripada mengejar ridha Allah.
Begitulah cara saya mengalami kebenaran yang mendalam. Satu ayat mulai berkelebat di benak saya. Saya sudah pernah mendengar ayat tersebut, tapi itulah kali pertama saya menyadari bahwa ayat itu sebenarnya menggambarkan tentang diri saya: “sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan(tidak percaya akan) pertemuan dengan kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami.” (Yunus[10]:7).
Dengan berfikir bahwa saya bisa memperoleh segalanya disini, saya tidak mengharapkan pertemuan dengan Tuhan. Harapan saya bersifat duniawi. Apa artinya menempatkan harapan pada dunia? Bagaimana hal ini bisa dihindari? Ini berarti bila anda memiliki teman, jangan mengharapkan teman-teman anda untuk memenuhi kekosongan anda. Bila anda menikah, jangan menaruh harapan dalam hasil. Bila anda sedang dalam kesulitan, jangan bergantung pada diri sendiri. Jangan bergantung pada manusia. Bergantunglah pada Tuhan.
Carilah pertolongan dari manusia tapi sadari bahwa bukan manusia (bahkan diri sendiri) yang bisa menolong anda. Hanya Allah yang mampu melakukannya. Manusia hanyalah alat, suatu sarana yang dipergunakan oleh Tuhan. Tapi, manusia bukanlah sumber bantuan, pertolongan, atau keselamatan apapun. Hanya Allah yang mampu melakukannya. Manusia bahkan tidak bisa menciptakan sayap seekor lalat (Al-Hajj[22]: 73). Dan demikianlah, bahkan saat anda berinteraksi dengan manusia, arahkan hati anda kepada Tuhan. Hadapilah Allah semata, seperti yang disabdakan Nabi Ibrahim as dengan sedemikian indahnya: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Al-An’am[6]:79).
Tapi bagaimana Nabi Ibrahim as menjelaskan perjalanannya sampai ke titik itu? Ia mempelajari bulan, matahari dan bintang-bintang dan menyadari bahwa mereka tidak sempurna. Mereka terbenam.
Mereka mengecewakan kita.
Nabi Ibrahim as menyerahkan diri dan menghadapkan ibadahnya kepada Allah semata. Seperti beliau, kita harus menaruh harapan penuh, kepercayaan dan ketergantungan kepada Allah dan hanya kepada Allah semata. Jika melakukannya, kita akan belajar mengenai arti menemukan kedamaian dan kemantapan hati. Hanya pada saat itulah roller coaster yang tadinya menentuka hidup kita pada akhirnya akan berhenti. Jika keadaan batin kita bergantung pada sesuatu yang menurut definisinya tidak konstan, keadaan batin kita juga tidak konstan. Jika keadaan batin kita bergantung pada sesuatu yang berubah dan bersifat sementara, keadaan batin kita akan berada dalam keadaan yang terus-menerus labil, gelisah, dan penuh gejolak. Ini berarti bahwa suatu saat kita bahagia, tapi segera setelah kondisi yang mempengaruhi kebahagiaan kita berubah, kebahagiaan kita akan ikut berubah. Kita pun jadi bersedih. Kondisi hati kerap berayun dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim yang lain tanpa diketahui sebabnya.
Kita mengalami roller coaster emosional ini Karen akita tak pernah bias menemukan kemantapan dan kedamaian yang kekal, sampai keterikatan dan ketergantungan kita disampingkan pada sesuatu yang stabil dan kekal. Bagaimana kita bias berharap dapat menemukan ketetapan hati jika kita berpegang pada sesuatu yang tidak kekal dan akan binasa? Ilustrasi dari kebenaran ini tergambar dari pernyataan Abu Bakar. Setelah Rasulullah wafat, umar merasa sangat terkejut dan tak sanggup menerima kabar tersebut. Meskipun tak ada yang menyayangi Rasulullah Muhammad seperti dirinya, Abu Bakar tahu betul di mana manusia seharusnya menggantungkan dirinya. Beliau berkata: “Siapa diantara kalian yang menyembah Muhammad(Rasulullah), ketahuilah bahwa Muhammad sudah wafat. Tapi barang siapa yang menyembah Allah, ketahuilah bahwa Allah tidak akan mati.”
Untuk mencapai keadaan itu, jangan biarkan sumber pemenuhan Anda menjadi apa pun selain hubungan anda dengan tuhan. Jangan biarkan definisi kesuksesan, kegagalan atau nilai diri anda menjadi apapun selain posisi anda disisi-Nya(Al-Hujurat[49]:13). Jika melakukan ini, anda akan menjadi tak terhancurkan karena buhul tali yang anda pegang tidak akan pernah terputus. Anda takkan pernah ditaklukkan karena pendukung anda takkan pernah bias ditaklukkan. Anda pun takkan pernah merasa hampa karena sumber pemenuhan dan anda tak pernah berakhir dan tak pernah berkurang.
Jika mengingat kembali mimpi saat usia saya 17 tahun tersebut, saya bertanya-tanya apakah gadis kecil itu sebenarnya adalah diri saya sendiri. Saya bertanya-tanya akan hal ini karena jawaban yang saya berikan kepadanya adalah suatu pembelajaran. Saya akan menghabiskan bertahun-tahun kehidupan saya secara menyakitkan untuk mempelajarinya. Jawaban saya untuk pertanyaan tentang mengapa orang-orang harus saling meninggalkan adalah: hidup ini tidak sempurna; jika hidup ini sempurna, bagaimana lagi kita menyebut tahapan hidup selanjutnya (akhirat)?”.


Penulis  : Yasmin Mogahed
Lazada Philippines

No comments:

Post a Comment